
Seorang gadis bermata coklat dengan rambut ikal terurai sepinggang, tersenyum memperhatikan sepasang gadis kecil dan teman laki-lakinya yang tampak seumuran. Gadis kecil dengan kuncir dua di sisi kanan dan kiri kepalanya itu tampak memegang erat setangkai daun empat semanggi dengan tangan mungilnya. Sementara teman laki-lakinya tengah berjongkok tidak jauh dari gadis itu—mencari dan memetik bunga liar yang terhampar bebas.
Gadis kecil itu terlihat gembira ketika ia menemukan daun empat semanggi. Tiba-tiba ia membulatkan matanya seakan mendapatkan ide bagus. Dengan kecepatan penuh, gadis itu memutar tubuhnya untuk melihat temannya yang sedang memetik beberapa kuntum bunga.
“Raka,” Panggil gadis itu sambil berlari kecil ke arah temannya dan berjongkok di samping anak laki-laki bertubuh agak gempal itu.
Raka menoleh pada gadis kecil yang tengah memperlihatkan gigi kelincinya.
“Ini,” Kata gadis itu. Ia mengulurkan daun semanggi yang ditemukannya tadi.
Raka mengangkat kedua alisnya, “Apa?”
“Untukmu,” Gadis kecil berkuncir dua itu terdiam sejenak, “Kau tahu? Kata ibuku, daun ini jika ada empat, kita akan mendapatkan keberuntungan. Aku ingin kau memilikinya.”
Raka mengambil setangkai daun itu dari tangan gadis yang masih menampakan gigi kelincinya, “Terimakasih.”
Raka kemudian merogoh sakunya untuk mengambil sebuah karet gelang dan mengikatkannya pada beberapa tangkai bunga liar beraneka warna yang sudah ia kumpulkan hingga wajahnya kini sudah mulai memerah terpapar matahari.
“Ambilah.”
Gadis kecil itu tersenyum sangat lebar dan membulatkan matanya besar-besar. Dengan segera ia mengambil seikat bunga itu dengan tangan kecilnya dan memandangnya dengan penuh kagum.
“Cantik sekali.” Gumam gadis kecil itu dengan mata yang masih terkagum-kagum.
Si gadis dewasa yang masih memperhatikan mereka tampak tersenyum dan tertawa kecil.
Gadis kecil itu kemudian berlari kecil menuju pohon akasia yang ada di dekat mereka dan mengambil sebongkah batu pipih dari bawah kakinya. Ia berpikir sejenak dan kemudian menuliskan sesuatu pada batang besar itu dengan batu yang ditemukannya.
Raka yang tampak penasaran dengan tulisan gadis kecil, beranjak dari tempatnya dan menghampirinya. Ia tampak terkikik. Mendengar suara tawa temannya, gadis kecil mendelik dan kemudian merenggut kesal. Tapi, hanya beberapa detik ia kembali mengukir di batang pohon itu.
“Apa mungkin kita bisa tetap berteman selamanya?” Tanya gadis itu lebih kepada dirinya sendiri.
“Tentu saja jelek, kita kan teman. Kau bodoh ya?” Jawab Raka dengan nada usil. Gadis berkepang dua langsung melayangkan kepalan tangannya pada kepala Raka membuat anak laki-laki itu melarikan diri sebelum kepalanya dijadikan landasan. Tak mau kalah, gadis kecil itupun ikut berlari hingga mereka merasa lelah dan duduk kembali di bawah pohon rimbun.
“Aku akan selalu ada di sini. Di sekitarmu.” Raka berkata dengan lembut dan mantap.
Gadis kecil yang tampak kelelahan itu langsung menoleh, membulatkan matanya penuh harap dan mengulurkan jari kelingkingnya tepat di wajah Raka, “Benar? Kau janji?”
Raka meraih kelingking itu dengan kelingkingnya dan mengaitkannya satu sama lain. “Hmm..” Raka mengangguk, “Kau panggil saja namaku, maka aku akan datang.”
Mereka melepaskan tautan jari mereka dan bangkit berdiri, “Ayo kita pulang. Aku lapar.”
Angin semilir berhembus menggerakkan ranting dan daun-daun akasia tepat setelah Raka mengucapkan kata-kata itu.
Si gadis dewasa tersenyum dan bulir-bulir air mata tampak turun dari pelupuk matanya. Ia tidak berniat untuk menghapus jejaknya dan membiarkannya mengalir begitu saja seiring menghilangnya kedua anak kecil itu dari pandangannya, bersamaan dengan angin yang masih belum lelah untuk berhembus.